Melacak Emas ke Cibaliung Pangalengan

Begitu menggoda ajakan mengikuti Tur Urat Emas Pangalengan pada medio April lalu. "Kita akan ke penambangan emas di Pangalengan," kata T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia. Wow! Jujur saja, selama tinggal di Bandung, baru kali ini saya mendengar ada tambang emas. Digarap liar pula. Perjalanan menantang segera terbayang.

Dengan mengendarai truk TNI, kami pun memulai--begitu nama kegiatan itu--dari depan taman Ganesha Institut Teknologi, Bandung. Peserta sebanyak 32 orang terdiri atas peneliti geografi dan geologi, guru geografi, wartawan, pekerja swasta, dan mahasiswa.

Saya memilih naik truk yang diisi para guru geografi dan peneliti dari Museum Geologi, dengan harapan bisa mendengar banyak kisah di sepanjang perjalanan.

Lokasi tambang emas itu berada di perbatasan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dengan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Bandung ke arah selatan.
Menghindari kemungkinan macet di daerah Baleendah, sopir mengarahkan truk melewati Cimahi. Belum sejam sampai di daerah Nanjung, badan sudah terasa pegal-pegal. Maklum, sejak berangkat tulang punggung dan bokong terus beradu dengan kursi kayu panjang. Tak jarang penumpang harus duduk terlonjak-lonjak. Dalam kecepatan sedang, enam roda truk terasa benar sulit berkelit dari tebaran lubang jalanan.

Duduk di deretan paling belakang membuat mata leluasa melahap pemandangan sawah, pegunungan, sungai, yang diselingi permukiman penduduk. Perbukitan cadas, yang di bawahnya terdapat perkampungan, memanjang di sebelah kanan kami. Tebing di daerah Nanjung hingga Soreang, pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, itu, konon, dulu merupakan pematang yang membelah danau raksasa Bandung purba menjadi sisi timur dan barat. "Kita sekarang sedang melintasi pantainya," ujar Bachtiar, yang di sepanjang perjalanan saling bertukar cerita kocak dengan seisi truk.

Saya sulit membayangkan rupa danau itu dulu. Terbentang begitu luas hingga Padalarang di sisi barat Bandung, dasar danau itu adalah wilayah Kota Bandung sekarang. Dan bukti danau itu bak lautan kecil adalah pegunungan karst yang terbentuk dari karang danau. Menyembul karena proses pergerakan kulit bumi, batuan karst itu kini menjadi sumber nafkah pengusaha dan penambang batu kapur di daerah Citatah, Padalarang.

Matahari mulai menyengat ketika truk berkelak-kelok di jalan pegunungan, tanda bahwa kami sudah di daerah Pangalengan. Hawa sejuk khas pegunungan menyelusup. Di bawah sana tampak punggung perbukitan berlapis sayur-mayur.

Memasuki Situ Cileunca, kami terpesona oleh gumpalan asap putih tebal yang membubung dan menyatu dengan awan putih di langit. Truk berhenti di sisi danau buatan pemerintah Belanda untuk irigasi itu. Asap tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga uap di Pegunungan Wayang-Windu. Setelah menikmati dan mengambil gambar, sejumlah peserta perempuan sibuk mencari rumah penduduk untuk buang air kecil. Sebagian peserta laki-laki memilih mencari kebun kosong untuk urusan yang sama.

Perjalanan dilanjutkan. Di dekat Rumah Jerman, truk berhenti. Dari kejauhan, rumah tua itu berdiri sendiri di kaki bukit. Kolam besar melatari di bagian depan, dan perkebunan teh di sekitarnya.

Selepas gerbang Cukul Estate, truk kembali berhenti untuk mengangkut delapan guru geografi dari berbagai SMA untuk bergabung. Cukul Estate adalah perumahan bagi sekitar 100 keluarga petani teh. Memasuki perkebunan teh, jalan mulus segera lenyap. Batu-batu lancip memenuhi lebar jalan yang hanya cukup dilintasi satu mobil itu. Kecepatan truk menyurut.

Merayap tapi pasti, mesin diesel meraung-raung. Beberapa kali truk mengaso sejenak di jalur menanjak. Di sisi kiri dan kanan, bergantian lereng kebun teh menganga dengan kemiringan 30-45 derajat. Ketegangan tersemai.

Mulut seorang ibu guru terlihat sibuk berkomat-kamit membaca doa agar semuanya selamat. Dia menyarankan peserta berjalan kaki dari sini.

Truk ngotot ingin melibas medan. "Masak sopir tentara nyerah," seloroh penumpang.
Rupanya sopir punya ketegangan sendiri ketika beberapa kali memutuskan berhenti. Dia meminta seluruh penumpang duduk agar keseimbangan truk terjaga.

Sambil tetap berdoa, saya mengusir jauh-jauh bayangan bahwa truk bakal terguling. Horor itu akhirnya berlalu setelah 15 menit. Tiba di tanjakan yang berkelok patah 180 derajat, sopir akhirnya menyerah. Penumpang satu per satu turun. Dari tempat setinggi 1.464 meter dari permukaan laut itu, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki menyusuri perkebunan teh.

Menyusuri jalan setapak, peserta harus berjalan antre. Beberapa ada yang tergelincir karena jalan licin dan berair. Perjalanan menerabas hutan itu pun menghabiskan sekitar setengah jam.

Mendekati lembah Cibaliung, gemericik air Sungai Cibaliung terdengar sayup-sayup. Suaranya makin jelas ketika kami tiba di salah satu gua penambang. Jalan masuk gua yang di sekitarnya ditumbuhi semak belukar itu disangga pilar-pilar dan atap kayu. Di depan gua, serpihan bebatuan putih berserakan. Sisa material lainnya ditumpuk dan dinaungi terpal plastik. Untuk memasuki lorong sempit dan gelap itu, kami hanya bisa bergantian satu per satu sambil membungkukkan badan.

Begitu sampai di ujung lorong yang berjarak delapan meter, tiga penambang laki-laki tampak berada di dalam. Sebuah senter terikat pada kepala salah seorang penambang, yang berusia sekitar 20 tahun. Tak kuat berlama-lama di dalam gua yang pengap, saya memutuskan keluar dengan cara berjalan mundur setengah berjongkok. Dari gua itu, saya menyusul rombongan di depan yang sudah memasuki perkampungan penambang di bawah sana.

Bedeng-bedeng penambang yang dibangun dari kayu dan terpal plastik itu begitu kumuh, seperti kandang ternak. Berukuran enam meter persegi, naungan itu dibagi untuk kamar tidur, dapur, dan tempat kerja. Salah satunya dihuni Sarman, 23 tahun. Lelaki berkulit gelap itu mengaku sudah ada di sana sejak 2000. Menurut dia, di sini ada lebih dari 100 penambang yang hampir seluruhnya berasal dari Desa Mekar Mukti, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, termasuk dirinya. Kampung itu sendiri terletak di balik lembah Sungai Cibaliung, berjarak, "Dua jam jalan (kaki)," (sumber: info pangalengan)
Share this article :

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PROFIL DESA KABUPATEN BANDUNG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger